Blog •  18/10/2021

BPDPKS Beberkan Tantangan Industri Sawit di Indonesia

Something went wrong. Please try again later...
© Sufri Yuliardi
© Sufri Yuliardi

WE Online, Jakarta - Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menyebut, industri sawit di Indonesia mengalami berbagai permasalahan yang terjadi dari hulu hingga hilir. Karena alasan tersebut, pemerintah melakukan berbagai upaya meningkatkan keberlanjutan industri sawit. Salah satunya dengan mendirikan BPDPKS.

"Permasalahan pertama produksi sawit kita terutama sawit masyarakat didominasi oleh produktivitas yang rendah karena sawit kita dominan memiliki usia yang sudah memasuki 25 tahun," ujar Sunari, Direktur Penghimpunan Dana BPDPKS dalam webinar "Kontribusi Industri Hilir Sawit dalam Mendukung Pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs)" yang diselenggarakan Warta Ekonomi, Selasa (19/10/2021).

Sunari mengatakan, persoalan rendahnya produktivitas tersebut perlu ditindaklanjuti dengan melakukan peremajaan. Karena itu, BPDPKS mendorong upaya belanja program di bidang replanting. Sebab, produksi CPO sawit rakyat sekitar 2,5 juta ton/Ha/tahun. Jumlah tersebut dinilainya jauh dari produksi multinasional korporasi yang sampai menyentuh 6-7 juta ton/Ha/tahun.

Karenanya, keterampilan petani perlu ditingkatkan. Sebab, saat ini dominasi pendapatan petani kebun sawit berasal dari tandon buah segar (TBS). Upaya tersebut menuai hasil positif jika dibandingkan tahun 2015 silam.

"Karena itu, petani sebagai ujung tombak, kemampuan bertani kemudian melaksanakan perkebunannya perlu ditingkatkan dan belanja program di bidang pendidikan pelatihan bahkan vokasi untuk petani terus ditingkatkan," katanya.

Sunari menambahkan, kualitas benih yang tidak baik juga menjadi persoalan yang perlu diperhatikan. Karena itu, dia mendorong agar penggunaan benih yang bersertifikasi SNI dengan 97,5 persen tenera. Dengan menggunakan benih yang baik, produksi TBS baik itu produksi dan rendemennya yang rendah dapat tingkatkan.

Selain itu, persoalan yang dinilainya strategis adalah masih kurangnya sarana dan prasarana yang mencakup aspek pengolahan, penyimpanan, dan transportasi. Sebab, hal tersebut terkait dengan sistem logistik nasional sehingga pihaknya terus mendorong upaya mitigasi biaya produksi yang tinggi yang disebabkan karena kurangnya sarana dan prasarana.

Termasuk, saat ini masih bertumpu pada penjualan CPO. Berdasarkan arahan Presiden Joko Widodo, perlu didorong agar hilirisasi dapat memberikan dampak lanjutan, baik dari sisi nilai tambah dan sisi penyerapan hasil produksi yang terus meningkat.

"Terakhir, masih adanya kampanye negatif baik dalam negeri dan luar negeri. Dominasi kita masih banyak diserang isu lingkungan, kesehatan, dan sosial-budaya," pungkasnya.

Sumber: Warta Ekonomi