Blog •  15/12/2020

Panen Raya, Petani Jagung Jember Merugi karena Terlambat Memberi Pupuk

Something went wrong. Please try again later...
© IDN Times/Mohamad Ulil Albab
© IDN Times/Mohamad Ulil Albab

Jember, IDN Times - Desember ini harusnya menjadi hari yang membahagiakan bagi petani karena masuk masa panen raya. Namun, hal itu tidak dirasakan oleh petani jagung di Kabupaten Jember. Mereka justru merugi karena hasil panen menurun dan harganya jauh lebih murah.

Kerugian itu disebabkan karena mereka sempat kesulitan mendapatkan pupuk subsidi. Mereka terlambat memberikan pupuk ke tanaman. Sehingga, tanaman mereka jadi mudah terserang hama ulat maupun tikus.

1. Kalah dengan rumput, serangan ulat hingga tikus

Ahmad Dowi (45), petani asal Desa Seruni, Kecamatan Jenggawah, Jember merasakan dampak dari kelangkaan pupuk subsidi. Keterlambatan memberi pupuk berdampak pada hasil panen jagungnya.

"Jagung saya terlambat diberi pupuk karena saya waktu itu menunggu dan mencari pupuk subsidi tidak dapat. Ya, hasilnya terpaksa beli pupuk nonsubsidi saat rumput di antara tanaman jagung sudah tinggi. Akhirnya banyak terserang ulat, pertumbuhan jagung tidak maksimal dan saat berbuah diserang tikus," kata Dowi saat ditemui di rumahnya, Senin (14/12/2020).

2. Hasil panen menurun

Tidak hanya Dowi, sebagian besar petani di desa tersebut juga terlambat memberi pupuk pada tanaman jagungnya. Ada pula yang terpaksa tidak melanjutkan pemupukan hingga gagal panen. Sebab, kata Dowi, kelangkaan pupuk subsidi terjadi saat masa tanam jagung pada September-Oktober.

"Sampai sekarang pun juga sulit. Ada juga yang dapat pupuk subsidi, tapi banyak pula yang tidak dapat, terutama yang tidak tergabung di kelompok tani," katanya.

Dowi melanjutkan, bila pada 2019 hasil panen jagung miliknya bisa mencapai 2 ton di lahan seluas seperdelapan hektare, saat ini dia hanya mendapatkan 17 kuintal atau 1,7 ton.

"Sekarang dapatnya hanya 17 kuintal, ya Alhamdulillah masih bisa panen. Punya teman-teman banyak yang jauh di bawah saya kalau dibandingkan," kata Dowi.

3. Terpaksa beli pupuk nonsubsidi

Dowi sendiri juga mengeluhkan mahalnya pupuk nonsubsidi yang mencapai Rp290 ribu per 50 kilogram. Sementara harga pupuk subsidi hanya Rp90 ribu per 50 kilogram.

"Ya harganya memang selisih jauh. Kemarin ada juga kelompok tani yang tidak dapat jatah pupuk subsidi. Katanya yang mendapat itu dia yang tergabung di kelompok tani, punya lahan sawah. Nah kalau yang menyewa gimana," keluh Dowi.

Kendati demikian, Dowi merasakan perbedaan kualitas dari pupuk subsidi dan nonsubsidi. Bila sebelumnya pada 2019 Dowi memberikan takaran 1 kuintal pupuk di lahannya, kali ini dia hanya memberi pupuk tanaman jagungnya sebanyak 65 kilogram.

"Saya mampunya beli 65 kilogram dan ternyata cukup bagus di tanaman meski hanya sedikit. Kalau sebelumnya paling tidak saya kasih 1 kuintal pupuk subsidi. Ya meskipun tanaman jagung jenis yang paling kuat diberi pupuk berapa pun takarannya, asalkan cara pemupukan benar, semakin banyak semakin bagus," katanya.

4. Ketua kelompok tani ada yang tidak dapat pupuk

Sementara itu, salah satu Ketua Kelompok Tani di Dusun Darungan, Desa Seruni, Kecamatan Jenggawah, Habib (58) mengaku tidak mendapatkan jatah pupuk subsidi, meski pun dia berstatus sebagai ketua kelompok tani.

"Iya, saya ketua kelompok tani tapi tidak dapat jatah pupuk subsidi. Bahkan, saya sudah ngajukan kartu tani bersama kelompok sejak tahun lalu, tapi juga belum jadi. Belakangan suruh ngajukan lagi," ujar Habib.

Habib sendiri kemudian mencari tahu siapa petani yang mendapat jatah pupuk subsidi di dusunnya. Menurutnya, yang dapat pupuk justru petani yang statusnya sudah meninggal, ada juga yang ke luar kota, dan petani yang tidak memiliki tanah.

"Tapi ada juga yang punya sawah dan orangnya masih di sini. Ya anehnya ada yang sudah meninggal dan ke luar kota, tapi bisa dapat jatah pupuk subsidi. Karena orangnya tidak ada ya, tidak terbeli jatahnya," ujarnya.

Habib sendiri menyadari bahwa ketergantungan petani terhadap pupuk kimia juga sudah berlangsung puluhan tahun. Menurutnya, butuh pendampingan dan bantuan dari pemerintah ketika petani beralih ke pupuk organik, karena di awal hasil panen tentu tidak akan langsung banyak.

"Karena butuh waktu lama untuk mengembalikan unsur hara tanah yang sudah lama terkena pupuk kimia," ujarnya.

Sumber: IDN Times