Blog •  09/06/2021

Potret Perkebunan Sawit di Malang Selatan, Harga Panen Murah Hingga Terbengkalai

Something went wrong. Please try again later...
© erwin wicaksono/suryamalang.com
© erwin wicaksono/suryamalang.com

SURYAMALANG.COM | MALANG - Sepetak tanah di Desa Bandungrejo, Bantur, Kabupaten Malang, mengungkap fakta terkini potret perkebunan sawit di Kabupaten Malang.

Tanaman bernama latin Elaeis guineensis ini sekilas secara kasat mata tampak tumbuh subur di tanah berkarakter karst di Malang Selatan.

Namun siapa siangka, petani yang merawat tanaman sawit tersebut kini sedang dirundung dilema.

Mantan petani kelapa sawit bernama Parmin (48) menerangkan berbagai pengalaman tidak produktif selama menanam pohon sawit.

Salah satunya harga kelapa sawit yang jauh dari standar pasaran.

"Banyak warga sawitnya ditebangi. Faktornya harganya gak stabil. Sekarang ini cuma Rp 800 per kilogram," ucap Parmin ketika ditemui di salah satu perkebunan sawit Desa Bandungrejo yang masih tersisa, Senin (7/6/2021).

Parmin menceritakan awal mula dirinya tergiur tawaran menanam sawit.

Kala itu, tepat pada tahun 2012 silam, sebuah yayasan yang berafiliasi dengan perusahaan sawit asal Blitar menawarkan warga menanam sawit dengan keuntungan yang prospektif.

"Ada yayasan dari Blitar, namanya saya kurang tau. Memberikan bibit dan pupuk selama 3 tahun. Masyarakat suruh menanam untuk menyuplai pabriknya yang ada di Blitar. Dulu waktu sosialisasi dijanjikan harga sesuai pasaran, Rp 1200-1300 per kilogram," beber Parmin.

Dari situlah Parmin memutuskan menanami tanahnya dengan kelapa sawit.

Seiring waktu berjalan menanam sawit sampai 4 tahun, Parmin mendapati kenyataan lain.

Tanaman sawit yang ia tanam hasilnya tidak bagus dan produktivitasnya tidak masif.

"Namun karena pabrik ini kapasitas produksinya harus banyak, sedangkan sawit di Malang ini jumlahnya sedikit. Otomatis pabrik itu gak giling," katanya.

Warga asli Desa Bandungrejo ini berkesan jika proses panen kelapa sawit membutuhkan tenaga ekstra bahkan beresiko.

Tanaman sawit yang tumbuh tinggi ditambah duri-duri yang menyertai bagian pelepah buah sawit, menguras tenaga warga yang memanennya.

"Cara memanen sawit juga manual, ada mesin yang otomatis tapi ya mahal," ungkapnya.

Parmin kini memilih tidak lagi mengurus perkebunan sawitnya.

Ia memutuskan menanami lahannya yang sebagian masih kosong dengan tanaman tebu.

Parmin menggeluti profesi lain di bidang non pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Alhasil, tanaman sawit yang pernah ia tanam dibiarkan tumbuh liar.

Pasalnya, ongkos menebang tanaman sawit dipikirnya malah membuat rugi.

“Seandainya ditebang, dan ada ditanam tanaman pengganti seperti kelapa harus nunggu 3 sampai 4 tahun agar dapat hasil. Istilahnya udah kapok menanam sawit," bebernya galau.

Parmin mengenang petak-petak tanah ditanami sawit dulunya lahan basah mirip rawa-rawa.

Namun, sejak ditanami sawit tanah tersebut tampak mengering tidak seperti dulu lagi.

"Sangat rakus air. Dulu saya dibilangi (per tanaman) sawit itu butuh 16 sampai 20 liter air (agar tumbuhnya bagus)," ungkapnya.

Di sisi lain, masih ada warga yang memilih mempertahankan tanaman sawitnya tumbuh.

Petani yang masih betahan itu adalah Sunjoto (70).

Merasa memasuki usia senja, Sunjoto tak punya pilihan pekerjaan lain.

Alhasil, ia menerima saja harga hasil sawitnya dihargai murah.

"Rp 800 sampai Rp 850 per kilogramnya. Dijualnya ya ada pengepul-pengepul yang datang ke sini membawa truk untuk membeli sawit," beber Sunjoto.

Sunjoto merawat tanaman sawitnya dalam kurun waktu 9 tahun terakhir.

Ia bercerita sawit yang ditanam hasilnya tidak begitu bagus. Ia pun tak mengetahui penyebab pastinya.

"Kalau yang bagus itu buahnya tebal kalau ini kecil-kecil gak tebal-tebal banget," tutur pria yang akrab disapa mbah Njoto ini.

Secara perawatan, Njoto menjelaskan kelapa sawit tak susah-susah amat perawatannya.

Cukup hanya diberi pupuk secara berkala.

Njoto memiliki lahan seluas lebih dari 3 hektare.

Seluruh lahannya ia tanami sawit, jika dihitung tanaman sawit yang dimiliki Njoto lebih dari 1000 pohon.

Njoto tinggal bersama istrinya di rumah gubuk kayu di dalam kebun sawit miliknya.

"Sawit itu berbuah tiap bulan. Tapi gak semua pohon yang berbuah, jadi acak. Satu pohon itu bisa 20 sampai 40 kilogram. Ya tergantung kualitasnya juga," katanya.

Ditanya untung dan rugi saat menanam sawit, Njoto masih menganggap sawit masih punya sisi ekonomis.

"Kalau pribadi saya ya untung saja. Usia saya pun sudah tua. Gak mungkin ini saya tebangi, karena sudah terlanjur," ungkap Njoto.

Sumber: SURYAMALANG